Rumah Cicilan
Alkisah, ada seorang pemuda dari keluarga yang miskin yang
rumah tinggalnya sering berpindah-pindah, karena ia hanya bisa mengontrak.
Dalam hidup, keinginan terbesarnya adalah memiliki rumah sendiri. Karena itu,
saat menikah, dia memaksa dirinya membeli rumah dengan cicilan selama 20 tahun.
Akibatnya, dengan gajinya yang relatif kecil, ia harus mengatur pengeluarannya
sedemikian rupa, sehemat mungkin, agar kebutuhan hidup bersama keluarganya
tetap bisa tercukupi.
Maka, sejak saat itu, kehidupan keluarga pemuda itu terpola
dengan sangat hemat, irit, dan tanpa keleluasaan sedikit pun untuk bersantai.
Si pemuda, sebagai kepala keluarga, sangat ketat mengatur segala sesuatu agar
cicilan rumah dapat terlunasi. Tak heran, setiap hari keluarga itu dilingkupi
suasana tegang, mudah emosi, karena ketat sekali dalam pengeluaran uang.
Waktu pun terus berjalan. Pada suatu ketika, ibu pemuda
tadi menyatakan keinginan kepada anaknya, “Anakku, keinginan ibu sebelum
meninggal adalah kita bisa pergi berjalan-jalan ke daerah yang ibu sukai. Ibu
mempunyai sedikit tabungan. Apakah kamu punya tabungan untuk menambahkan
kekurangannya?”
”Sabar Bu, jangan sekarang. Bukankah kita harus berhemat,
irit, mengatur sedetail mungkin pengeluaran kita agar bisa tetap membayar cicilan
rumah?” jawab si pemuda setiap kali ditanyai ibunya.
Begitulah, saking ketatnya mengatur pengeluaran, saat sang
istri mengajak pergi keluar untuk sekadar bersantai pun, pemuda itu tidak
menggubrisnya. Bahkan hanya sekadar makan keluar ke restoran bersama keluarga
pun, selalu dijawabnya dengan jawaban yang itu-itu saja, yakni ’harus berhemat
untuk membayar cicilan rumah’. Alasan ini juga berlaku untuk anaknya. Saat si
anak merengek minta uang jajan atau dibelikan mainan, dengan tegas si pemuda
menolak semua keinginan anaknya.
Istri dan keluarganya akhirnya mulai tertekan dan jenuh
dengan keadaan seperti itu. Hari-hari pun berlalu dengan monoton dan penuh
dengan stres. Tak ada lagi nuansa kebahagiaan yang menyelimuti keluarga itu.
Tanpa terasa, 20
tahun kemudian, cicilan rumah telah selesai. Rumah itu telah sepenuhnya
menjadi milik pemuda tadi. Namun, ketika rumah itu benar-benar telah menjadi
miliknya, ternyata ia tidak bahagia. Ia bahkan merasa telah kehilangan sesuatu
yang jauh lebih berharga. Saat itu, rumah yang ditempati hanyalah sebentuk
bangunan, tanpa ada apa-apa lagi di dalamnya, tanpa kehangatan dan tanpa
kebahagiaan. Si pemuda tinggal seorang diri di situ. Istri dan anaknya telah
pergi, meninggalkan dia. Ibu pemuda itu pun sudah meninggal dunia beberapa
tahun silam, tanpa pernah terkabul permintaan terakhirnya.
Kini, hidup
terasa hampa, dingin, dan kosong baginya. Laki-laki itu tidak mengerti,
kenapa saat tujuan hidup yang diagungkan tercapai, saat sertifikat kepemilikan
rumah ada di tangannya, justru cinta, kehangatan, dan kebahagiaan pergi
meninggalkannya begitu saja!
Teman-teman,
Kekayaan materi sering kali dipandang sebagai standar kesuksesan. Namun kenyataannya, tidak sedikit orang yang kaya materi tidak bahagia kehidupannya. Tidak ada cinta dan kehangatan di dalam rumah mewah yang dimilikinya. Sebaliknya, banyak pula orang yang tidak berkelimpahan harta tetapi bisa menikmati hidup dengan lebih bahagia bersama dengan seluruh keluarganya.
Teman-teman,
Kekayaan materi sering kali dipandang sebagai standar kesuksesan. Namun kenyataannya, tidak sedikit orang yang kaya materi tidak bahagia kehidupannya. Tidak ada cinta dan kehangatan di dalam rumah mewah yang dimilikinya. Sebaliknya, banyak pula orang yang tidak berkelimpahan harta tetapi bisa menikmati hidup dengan lebih bahagia bersama dengan seluruh keluarganya.
Jika kita punya
cita-cita menghasilkan kekayaan yang berlimpah, sah sah saja kok. Namun, apa
artinya semua materi yang kita dapatkan, jika kita harus kehilangan kebahagiaan
dari orang-orang yang kita cintai seperti cerita di atas? Apalagi alasan untuk
mengejar semua keinginan itu lahir dari perasaan iri atau tidak mau kalah
dengan orang lain, sehingga akan memunculkan pemaksaan di luar kemampuan kita,
yang pada akhirnya membuat kita menderita.
Maka, jangan
paksakan sesuatu yang tidak pantas dipaksakan kalau hanya penyesalan dan
penderitaan yang akan kita alami.
Mari
teman-teman, tetaplah berjuang dan bekerja keras mewujudkan impian kita! Namun
gunakan cara positif dan pola pikir yang benar dan seimbang, agar hidup bisa
lebih bermakna bersama dengan keluarga
Ibuku Adalah Segalannya
Di sebuah rumah
sakit bersalin, seorang ibu baru saja melahirkan jabang bayinya.
"Apakah saya bisa melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan. Raut wajahnya penuh dengan kebahagiaan. Namun, ketika gendongan berpindah tangan dan si ibu membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki mungilnya, ia terlihat menahan napas. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit, tak tega melihat perubahan wajah si ibu.
"Apakah saya bisa melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan. Raut wajahnya penuh dengan kebahagiaan. Namun, ketika gendongan berpindah tangan dan si ibu membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki mungilnya, ia terlihat menahan napas. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit, tak tega melihat perubahan wajah si ibu.
Bayi sang ibu
ternyata dilahirkan tanpa kedua belah telinga! Meski terlihat sedikit kaget, si
ibu tetap menimang bayinya dengan penuh kasih sayang.
Waktu
membuktikan, bahwa pendengaran putranya ternyata bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh
dan buruk. Suatu hari, anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan
wajahnya di pelukan si ibu sambil menangis. Ibu itu pun ikut berurai air mata.
Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Sambil
terisak, anak itu bercerita, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku.
Katanya, aku ini makhluk aneh."
Begitulah, meski
tumbuh dengan kekurangan, anak lelaki itu kini telah dewasa. Dengan kasih
sayang dan dorongan semangat orangtuanya, meski punya kekurangan, ia tumbuh
sebagai pemuda tampan yang cerdas. Rupanya, ia pun pandai bergaul sehingga
disukai teman-teman sekolahnya. Ia pun mengembangkan bakat di bidang musik dan
menulis. Akhirnya, ia tumbuh menjadi remaja pria yang disegani karena kepandaiannya
bermusik.
Suatu hari, ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuk putra Bapak. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Maka, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya kepada anak mereka.
Suatu hari, ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuk putra Bapak. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Maka, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya kepada anak mereka.
Beberapa bulan
sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelaki itu, "Nak,
seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah
sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kata
si ayah.
Operasi berjalan
dengan sukses. Ia pun seperti terlahir kembali. Wajahnya yang tampan, ditambah
kini ia sudah punya daun telinga, membuat ia semakin terlihat menawan. Bakat
musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak
penghargaan dari sekolahnya.
Beberapa waktu
kemudian, ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia lantas
menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia
mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar, namun aku
sama sekali belum membalas kebaikannya."
Ayahnya
menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang
telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan,
"Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua
rahasia ini."
Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari, tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga tersebut. Pada hari itu, ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, si ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku. Sang ayah lantas menyibaknya sehingga sesuatu yang mengejutkan si anak lelaki terjadi. Ternyata, si ibu tidak memiliki telinga.
Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari, tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga tersebut. Pada hari itu, ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, si ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku. Sang ayah lantas menyibaknya sehingga sesuatu yang mengejutkan si anak lelaki terjadi. Ternyata, si ibu tidak memiliki telinga.
"Ibumu
pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik
si ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit
kecantikannya, ‘kan?"
Melihat kenyataan bahwa telinga ibunya yang diberikan pada si anak, meledaklah tangisnya. Ia merasakan bahwa cinta sejati ibunya yang telah membuat ia bisa seperti saat ini.
Guys,
Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh, namun ada di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun justru pada apa yang kadang tidak dapat terlihat. Begitu juga dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Di sana selalu ada inti sebuah cinta yang sejati, di mana terdapat keikhlasan dan ketulusan yang tak mengharap balasan apa pun.
Melihat kenyataan bahwa telinga ibunya yang diberikan pada si anak, meledaklah tangisnya. Ia merasakan bahwa cinta sejati ibunya yang telah membuat ia bisa seperti saat ini.
Guys,
Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh, namun ada di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun justru pada apa yang kadang tidak dapat terlihat. Begitu juga dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Di sana selalu ada inti sebuah cinta yang sejati, di mana terdapat keikhlasan dan ketulusan yang tak mengharap balasan apa pun.
Dalam cerita di
atas, cinta dan pengorbanan seorang ibu adalah wujud sebuah cinta sejati yang
tak bisa dinilai dan tergantikan. Cinta sang ibu telah membawa kebahagiaan bagi
sang anak. Inilah makna sesungguhnya dari sebuah cinta yang murni. Karena itu,
sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan jasa seorang ibu. Sebab, apa pun
yang telah kita lakukan, pastilah tak akan sebanding dengan cinta dan
ketulusannya membesarkan, mendidik, dan merawat kita hingga menjadi seperti
sekarang.
Mari, jadikan
ibu kita sebagai suri teladan untuk terus berbagi kebaikan. Jadikan beliau
sebagai panutan yang harus selalu diberikan penghormatan. Sebab, dengan
memperhatikan dan memberikan kasih sayang kembali kepada para ibu, kita akan
menemukan cinta penuh ketulusan dan keikhlasan, yang akan membimbing kita
menemukan kebahagiaan sejati dalam kehidupan.
Ikan
Kecil dan Air
Suatu hari seorang anak dan ayahnya sedang duduk
berbincang-bincang ditepi sungai. Kata ayah kepada anaknya, “Lihatlah anakku,
air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa air kita semua akan mati.”
Pada saat yang bersamaan seekor ikan kecil mendengarkan
percakapan itu dari bawah permukaan air, ia mendadak menjadi gelisah dan ingin
tahu apakah air itu, yang katanya begitu penting dalam kehidupan ini. Ikan
kecil ini berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil bertanya kepada
setiap ikan yang ditemuinya. “ Hai, tahukah kamu dimana air itu? Aku telah
mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan mati.”
Ternyata semua ikan tidak ada yang mengetahui dimana air itu, si ikan kecil mulai gelisah, lalu ia berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sepuh yang sudah berpengalaman, kepada ikan sepuh itu, ikan kecil ini menanyakan hal yang serupa, Dimanakah air itu?”
Ternyata semua ikan tidak ada yang mengetahui dimana air itu, si ikan kecil mulai gelisah, lalu ia berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sepuh yang sudah berpengalaman, kepada ikan sepuh itu, ikan kecil ini menanyakan hal yang serupa, Dimanakah air itu?”
Jawaban ikan sepuh adalah, “Tak usah gelisah anakku, air itu
telah mengelilingimu, sehingga bahkan kamu tidak menyadari kehadirannya. Memang benar, tanpa air kita akan mati.”
Apa arti cerita tersebut diatas? Manusia kadang-kadang mengalami situasi seperti si ikan kecil, mencari kesana kemari tentang kehidupan dan kebahagiaan, padahal ia sedang menjalaninya, kebahagiaan sedang melingkupinya sampai-sampai tidak menyadarinya.
Apa arti cerita tersebut diatas? Manusia kadang-kadang mengalami situasi seperti si ikan kecil, mencari kesana kemari tentang kehidupan dan kebahagiaan, padahal ia sedang menjalaninya, kebahagiaan sedang melingkupinya sampai-sampai tidak menyadarinya.
Hargai
Hidupmu, Kawan
Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara.
Pendidikan rendah, hidup dari bekerja sebagai buruh tani milik tuan tanah yang
kaya raya. Walaupun hidupnya sederhana tetapi sesungguhnya dia bisa melewati
kesehariannya dengan baik.
Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak memiliki arti.
Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa, dan tidak memiliki arti.
"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya
menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja kehidupan ini," katanya
dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di
sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu,
tiba-tiba menyela lembut. "Anak muda yang tampan dan baik hati, tolong
jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang, bila dia
patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi
riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."
Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."
Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."
Setelah pohon
yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang
pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri
agar tidak patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam
dan bermanfaat bagi makhluk lain".
Segera timbul
kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas
aku melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita
dan akan bekerja dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk
lain".
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.
Semangkuk
Bakso
Dikisahkan, biasanya di hari ulang tahun Putri, ibu pasti
sibuk di dapur memasak dan menghidangkan makanan kesukaannya. Tepat saat yang
ditunggu, betapa kecewa hati si Putri, meja makan kosong, tidak tampak sedikit
pun bayangan makanan kesukaannya tersedia di sana . Putri kesal, marah, dan jengkel.
"Huh, ibu sudah tidak sayang lagi padaku. Sudah tidak
ingat hari ulang tahun anaknya sendiri, sungguh keterlaluan," gerutunya
dalam hati. "Ini semua pasti gara-gara adinda sakit semalam sehingga ibu
lupa pada ulang tahun dan makanan kesukaanku. Dasar anak manja!"
Ditunggu sampai siang, tampaknya orang serumah tidak peduli lagi kepadanya. Tidak ada yang memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi kado untuknya.
Dengan perasaan marah dan sedih, Putri pergi meninggalkan rumah begitu saja. Perut kosong dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuatnya berjalan sembarangan. Saat melewati sebuah gerobak penjual bakso dan mencium aroma nikmat, tiba-tiba Putri sadar, betapa lapar perutnya! Dia menatap nanar kepulan asap di atas semangkuk bakso.
"Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam," sapa si tukang bakso.
Ditunggu sampai siang, tampaknya orang serumah tidak peduli lagi kepadanya. Tidak ada yang memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi kado untuknya.
Dengan perasaan marah dan sedih, Putri pergi meninggalkan rumah begitu saja. Perut kosong dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuatnya berjalan sembarangan. Saat melewati sebuah gerobak penjual bakso dan mencium aroma nikmat, tiba-tiba Putri sadar, betapa lapar perutnya! Dia menatap nanar kepulan asap di atas semangkuk bakso.
"Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam," sapa si tukang bakso.
"Mau, bang.
Tapi saya tidak punya uang," jawabnya tersipu malu.
"Bagaimana
kalau hari ini abang traktir kamu? Duduklah, abang siapin mi bakso yang super
enak." Putri pun segera duduk di dalam. Tiba-tiba, dia tidak kuasa menahan
air matanya, "Lho, kenapa menangis, neng?" tanya si abang.
"Saya jadi
ingat ibu saya, bang. Sebenarnya... hari ini ulang tahun saya. Malah abang,
yang tidak saya kenal, yang memberi saya makan. Ibuku sendiri tidak ingat hari
ulang tahunku apalagi memberi makanan kesukaanku. Saya sedih dan kecewa,
bang."
"Neng cantik, abang yang baru sekali aja memberi makanan bisa bikin neng terharu sampai nangis. Lha, padahal ibu dan bapak neng, yang ngasih makan tiap hari, dari neng bayi sampai segede ini, apa neng pernah terharu begini? Jangan ngeremehin orangtua sendiri neng, ntar nyesel lho."
"Neng cantik, abang yang baru sekali aja memberi makanan bisa bikin neng terharu sampai nangis. Lha, padahal ibu dan bapak neng, yang ngasih makan tiap hari, dari neng bayi sampai segede ini, apa neng pernah terharu begini? Jangan ngeremehin orangtua sendiri neng, ntar nyesel lho."
Putri seketika
tersadar, "Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti itu?"
Setelah
menghabiskan makanan dan berucap banyak terima kasih, Putri bergegas pergi.
Setiba di rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat, wajah cemas sekaligus
lega,
"Putri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu ke mana. Putri, selamat ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan kesukaan Putri. Putri pasti lapar kan? Ayo nikmati semua itu."
"Putri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu ke mana. Putri, selamat ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan kesukaan Putri. Putri pasti lapar kan? Ayo nikmati semua itu."
"Ibu,
maafkan Putri, Bu," Putri pun menangis dan menyesal di pelukan ibunya. Dan yang membuat Putri semakin menyesal,
ternyata di dalam rumah hadir pula sahabat-sahabat baik dan paman serta
bibinya. Ternyata ibu Putri membuatkan pesta kejutan untuk putri kesayangannya.
Guys,
Saat kita mendapat pertolongan atau menerima pemberian sekecil apapun dari orang lain, sering kali kita begitu senang dan selalu berterima kasih. Sayangnya, kadang kasih dan kepedulian tanpa syarat yang diberikan oleh orangtua dan saudara tidak tampak di mata kita. Seolah menjadi kewajiban orangtua untuk selalu berada di posisi siap membantu, kapan pun.
Guys,
Saat kita mendapat pertolongan atau menerima pemberian sekecil apapun dari orang lain, sering kali kita begitu senang dan selalu berterima kasih. Sayangnya, kadang kasih dan kepedulian tanpa syarat yang diberikan oleh orangtua dan saudara tidak tampak di mata kita. Seolah menjadi kewajiban orangtua untuk selalu berada di posisi siap membantu, kapan pun.
Bahkan, jika hal
itu tidak terpenuhi, segera kita memvonis, yang tidak sayanglah, yang tidak
mengerti anak sendirilah, atau dilanda perasaan sedih, marah, dan kecewa yang
hanya merugikan diri sendiri. Maka untuk itu, kita butuh untuk belajar dan
belajar mengendalikan diri, agar kita mampu hidup secara harmonis dengan
keluarga, orangtua, saudara, dan dengan masyarakat lainnya.
Pesan
Ibu
Suatu hari,
tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan
sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue
menghampirinya, "Kak, beli kue kak, masih hangat dan enak rasanya!"
"Tidak Dik,
saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum
si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si
pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan
menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan
berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil berkukuh
mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh
pulang, Kak."
Dompet
yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya
dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak
mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."
Dengan
senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan
memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"
"Kak, saya
mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan
uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis.
Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan
sedih, jika saya menerima uang dari Kakak bukan hasil dari menjual kue. Tadi
kakak bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis
itu."
Si pemuda merasa
takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak
kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera
menghitung dengan gembira.
Sambil
menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari
ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak
mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira
diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Kak. Ibu saya pasti
akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi
kehidupan kami."
Guys,
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.
Guys,
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.
Jika setiap
manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani
kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu
akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio
dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.
Bersyukur
dan Bahagia
Alkisah, ada seorang pedagang kaya yang merasa dirinya
tidak bahagia. Dari pagi-pagi buta,
dia telah bangun dan mulai bekerja. Siang hari bertemu dengan orang-orang untuk membeli atau menjual barang.
Hingga malam hari, dia masih sibuk dengan buku catatan dan mesin hitungnya.
Menjelang tidur, dia masih memikirkan rencana kerja untuk keesokan harinya.
Begitu hari-hari berlalu.
Suatu pagi
sehabis mandi, saat berkaca, tiba-tiba dia kaget saat menyadari rambutnya mulai
menipis dan berwarna abu-abu. "Akh. Aku sudah menua. Setiap hari aku
bekerja, telah menghasilkan kekayaan begitu besar! Tetapi kenapa aku tidak bahagia? Ke mana saja aku
selama ini?"
Setelah
menimbang, si pedagang memutuskan untuk pergi meninggalkan semua kesibukannya
dan melihat kehidupan di luar sana. Dia berpakaian layaknya rakyat biasa dan
membaur ke tempat keramaian.
"Duh, hidup
begitu susah, begitu tidak adil! Kita telah bekerja dari pagi hingga sore,
tetapi tetap saja miskin dan kurang," terdengar sebagian penduduk berkeluh
kesah.
Di tempat lain, dia mendengar seorang saudagar kaya; walaupun harta berkecukupan, tetapi tampak sedang sibuk berkata-kata kotor dan memaki dengan garang. Tampaknya dia juga tidak bahagia.
Di tempat lain, dia mendengar seorang saudagar kaya; walaupun harta berkecukupan, tetapi tampak sedang sibuk berkata-kata kotor dan memaki dengan garang. Tampaknya dia juga tidak bahagia.
Si pedagang
meneruskan perjalanannya hingga tiba di tepi sebuah hutan. Saat dia berniat
untuk beristirahat sejenak di situ, tiba-tiba telinganya menangkap gerak
langkah seseorang dan teriakan lantang, "Huah! Tuhan, terima kasih. Hari
ini aku telah mampu menyelesaikan tugasku dengan baik. Hari ini aku telah pula makan dengan kenyang dan
nikmat. Terima kasih Tuhan, Engkau telah menyertaiku dalam setiap langkahku. Dan
sekarang, saatnya hambamu hendak beristirahat."
Setelah tertegun
beberapa saat dan menyimak suara lantang itu, si pedagang bergegas mendatangi
asal suara tadi. Terlihat seorang pemuda berbaju lusuh telentang di rerumputan.
Matanya terpejam. Wajahnya begitu bersahaja.
Mendengar suara
di sekitarnya, dia terbangun. Dengan tersenyum dia menyapa ramah, "Hai,
Pak Tua. Silahkan beristirahat di sini."
"Terima
kasih, Anak Muda. Boleh bapak bertanya?" tanya si pedagang.
"Silakan."
"Apakah kerjamu
setiap hari seperti ini?"
"Tidak, Pak
Tua. Menurutku, tak peduli apapun pekerjaan itu, asalkan setiap hari aku bisa
bekerja dengan sebaik2nya dan pastinya aku tidak harus mengerjakan hal sama
setiap hari. Aku senang, orang yang kubantu senang, orang yang membantuku juga
senang, pasti Allah juga senang di atas sana. Ya kan? Dan akhirnya, aku perlu
bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas semua pemberiannya ini".
Teman-teman,
Kenyataan di kehidupan ini, kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan sebesar apapun tidak menjamin rasa bahagia. Bisa kita baca kisah hidup seorang maha bintang Michael Jackson yang meninggal belum lama ini, yang berhutang di antara kelimpahan kekayaannya. Dia hidup menyendiri dan kesepian di tengah keramaian penggemarnya; tidak bahagia di tengah hiruk pikuk bumi yang diperjuangkannya.
Kenyataan di kehidupan ini, kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan sebesar apapun tidak menjamin rasa bahagia. Bisa kita baca kisah hidup seorang maha bintang Michael Jackson yang meninggal belum lama ini, yang berhutang di antara kelimpahan kekayaannya. Dia hidup menyendiri dan kesepian di tengah keramaian penggemarnya; tidak bahagia di tengah hiruk pikuk bumi yang diperjuangkannya.
Entah seberapa
kontroversial kehidupan Jacko. Tetapi, yah... setidaknya, dia telah berusaha
berbuat yang terbaik dari dirinya untuk umat manusia lainnya.
Mari, jangan
menjadi budaknya materi. Mampu
bersyukur merupakan kebutuhan manusia. Mari kita berusaha memberikan yang
terbaik bagi diri kita sendiri, lingkungan kita, dan bagi manusia-manusia
lainnya. Sehingga, kita senantiasa bisa menikmati hidup ini penuh dengan
sukacita, syukur, dan bahagia.
Kisah sang belalang
Seekor belalang telah lama terkurung dalam
sebuah kotak. Suatu hari ia
berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya tersebut. Dengan gembira ia
melompat-lompat menikmati kebebasannya. Di perjalanan ia bertemu dengan seekor
belalang lain. Namun ia keheranan kenapa belalang itu bisa melompat lebih
tinggi dan lebih jauh darinya.
Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya, “Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh?
Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya, “Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh?
Belalang itupun menjawabnya, “Dimanakah
kau selama ini tinggal? Karena semua belalang yang hidup dialam bebas pasti
bisa melakukan seperti yang aku lakukan”.Saat itu si belalang baru tersadar
bahwa selama ini kotak itulah yang selama ini membuat lompatannya tidak sejauh
dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.
Kadang-kadang kita sebagai manusia tanpa sadar pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan yang beruntun, perkataan teman, atau pendapat tetangga, seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang membatasi semua kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah kamu separah itu? Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih untuk mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri
Kadang-kadang kita sebagai manusia tanpa sadar pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan yang beruntun, perkataan teman, atau pendapat tetangga, seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang membatasi semua kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah kamu separah itu? Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih untuk mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri
Tidakkah kamu pernah mempertanyakan kepada
hati nurani bahwa kamu bisa “melompat lebih tinggi dan lebih jauh” kalau kamu
mau menyingkirkan “kotak” itu? Tidakkah kamu ingin membebaskan diri agar kamu
bisa mencapai sesuatu yang selama ini kamu anggap diluar batas kemampuan kamu
Beruntung sebagai manusia kita dibekali
Tuhan kemampuan untuk berjuang, tidak hanya menyerah begitu saja pada apa yang
kita alami. Karena itu teman,
teruslah berusaha mencapai apapun yang kamu ingin capai. Sakit memang, lelah
memang, tetapi bila kamu sudah sampai kepuncak, semua pengorbanan itu pasti
terbayar.
Kehidupan kamu akan lebih baik kalau hidup
dengan cara hidup pilihan kamu. Bukan cara hidup yang seperti mereka pilihkan
untuk kamu… dan orang-orang yang kita cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar